Monday, July 27, 2009

orang indonesia

Since 1991 I have visited many places in Indonesia , from Medan to
Makassar . As I learned Bahasa Indonesia I can easily mingle with ordinary
Indonesians.
My first opinion about Indonesia was very positive. Most people greeted
me and invited me to their homes. In particular people in the
countryside are very happy when a westerner visits their village.
After staying a long time in this country and having talked with many
people at all social levels, from farmers to government officials, it
seems that most have only one topic which keeps them entertained: money.
In my country, the Netherlands , people have many hobbies and ambitions.
Dutch children as young as four years old want to become doctors,
police officers, dentists, lawyers, musicians, dancers, etc. They are
encouraged by their parents to swim, dance, sing, draw cartoons, love
animals, respect nature and so on.
Indonesian children simply hang around all day in the vicinity of their
house without having anything to do. They aren't encouraged by their
parents to do something useful as these parents only watch television,
chat with neighbors or, even worse, sleep.
As a European I become bored of being told every day that I am rich
just because I'm from Europe . Indonesians don't care about their
achievements, but only about the amount of money they acquire. The way they get
this money doesn't matter to them.
People at all levels protest daily about corruption, but most of them
are themselves corrupt. If those protesters could acquire top positions
they wouldn't mind being corrupt in the same way they now accuse
others.
A lot of the media, especially The Jakarta Post, run stories on
widespread corruption. Unfortunately, it's only talk with almost no action at
all.
In my opinion, the high level of corruption in Indonesia is caused by
the fact that Indonesians have no ambition, except to acquire money.
When they have more than they need, they simply have a party, buy a car,
television, or waste it on other meaningless items.
They don't save it for their children's education and future like we do
in Europe . What's the meaning of money if you don't know what to do
with it?
How is this country going to develop if nobody cares about their
achievements but only about money?
malindacheah.multiply.com

Profesor Termuda Di As Ternyata Orang Indonesia

Nelson Tansu meraih gelar Profesor di bidang Electrical Engineering di Amerika sebelum berusia 30 tahun. Karena last name-nya mirip nama Jepang, banyak petinggi Jepang yang mengajaknya "pulang ke Jepang" untuk membangun Jepang. Tapi Prof. Tansu mengatakan kalau dia adalah pemegang paspor hijau berlogo Garuda Pancasila. Namun demikian, ia belum mau pulang ke Indonesia. Kenapa?

Nelson Tansu lahir di Medan , 20 October 1977. Lulusan terbaik dari SMA Sutomo 1 Medan. Pernah menjadi finalis team Indonesia di Olimpiade Fisika. Meraih gelar Sarjana dari Wisconsin University pada bidang Applied Mathematics, Electrical Engineering and Physics (AMEP) yang ditempuhnya hanya dalam 2 tahun 9 bulan, dan dengan predikat Summa Cum Laude. Kemudian meraih gelar Master pada bidang yang sama, dan meraih gelar Doktor (Ph.D) di bidang Electrical Engineering pada usia 26 tahun. Ia mengaku orang tuanya hanya membiayai-nya hingga sarjana saja. Selebihnya, ia dapat dari beasiswa hingga meraih gelar Doktorat. Dia juga merupakan orang Indonesia pertama yang menjadi Profesor di Lehigh University tempatnya bekerja sekarang.

Thesis Doktorat-nya mendapat award sebagai "The 2003 Harold A. Peterson Best ECE Research Paper Award" mengalahkan 300 thesis Doktorat lainnya. Secara total, ia sudah menerima 11 scientific award di tingkat internasional, sudah mempublikasikan lebih 80 karya di berbagai journal internasional dan saat ini adalah visiting professor di 18 perguruan tinggi dan institusi riset. Ia juga aktif diundang sebagai pembicara di berbagai even internasional di Amerika, Kanada, Eropa dan Asia .

Karena namanya mirip dengan bekas Perdana Menteri Turki, Tansu Ciller, dan juga mirip nama Jepang, Tansu, maka pihak Turki dan Jepang banyak yang mencoba membajaknya untuk "pulang". Tapi dia selalu menjelaskan kalau dia adalah orang Indonesia . Hingga kini ia tetap memegang paspor hijau berlogo Garuda Pancasila dan tidak menjadi warga negara Amerika Serikat. Ia cinta Indonesia katanya. Tetapi, melihat atmosfir riset yang sangat mendukung di Amerika , ia menyatakan belum mau pulang dan bekerja di Indonesia . Bukan apa-apa, harus kita akui bahwa Indonesia terlalu kecil untuk ilmuwan sekaliber Prof. Nelson Tansu.

Ia juga menyatakan bahwa di Amerika, ilmuwan dan dosen adalah profesi yang sangat dihormati di masyarakat. Ia tidak melihat hal demikian di Indonesia . Ia menyatatakan bahwa penghargaan bagi ilmuwan dan dosen di Indonesia adalah rendah. Lihat saja penghasilan yang didapat dari kampus. Tidak cukup untuk membiayai keluarga si peneliti/dosen. Akibatnya, seorang dosen harus mengambil pekerjaan lain, sebagai konsultan di sektor swasta, mengajar di banyak perguruan tinggi, dan sebagianya. Dengan demikian, seorang dosen tidak punya waktu lagi untuk melakkukan riset dan membuat publikasi ilmiah. Bagaimana perguruan tinggi Indonesia bisa dikenal di luar negeri jika tidak pernah menghasilkan publikasi ilmiah secara internasional?

Prof. Tansu juga menjelaskan kalau di US atau Singapore , gaji seorang profesor adalah 18-30 kali lipat lebih dari gaji professor di Indonesia . Sementara, biaya hidup di Indonesia cuma lebih murah 3 kali saja. Maka itu, ia mengatakan adalah sangat wajar jika seorang profesor lebih memilih untuk tidak bekerja di Indonesia . Panggilan seorang profesor atau dosen adalah untuk meneliti dan membuat publikasi ilmiah, tapi bagaimana mungkin bisa ia lakukan jika ia sendiri sibuk "cari makan".
Milis Eramuslim